TRAGEDI CINTA RAMA, SHINTA, RAHWANA DAN BANGSA INI

RAMASINTA (TEROPONGREYOG) - "Aku kangen nyucup payudoromu" (Opera Jawa- Garin Nugroho, Paris 2011) Kata-kata itulah yang pertama kali diucapkan Rama pada Shinta, seusai mengangkangi jasad Rahwana yang menyelingkuhi
istrinya. Rama mengajak istri terkasih Shinta untuk membangun kembali laku asmaragama yang terkoyak oleh dramaturgi perselingkuhan Rahwana-Shinta.

Namun, Shinta telah berubah. Perasaannya tidak lagi tercurah pada Rama, sang suami. Ada Rahwana di salah satu rongga hatinya. Rama yang posesif merasakan betapa hambarnya cinta Shinta. Tidak ada lagi penyatuan perasaan dalam laku asmaragama. Rama pun rindu pada “payudara” Shinta yang menjadi sumber inspirasi dan semangat hidupnya. Shinta yang murni, bukan Shinta yang egois dan penyelingkuh.

Sebaliknya, Shinta hidup bak di neraka bersama Rama. Demi membalaskan kematian selingkuhan terkasihnya Rahwana, Shinta menusukkan tusuk konde di dada suaminya. Melalui tokoh Rama-Shinta-
Rahwana dalam Sendratari Opera Jawa yang pentas akhir Maret lalu di Museum Branly Paris Perancis,

Garin Nugroho hendak menggambarkan kondisi kosmos yang kering dari hakikat cinta. Rama yang
posesif, Shinta yang kesepian, dan Rahwana sang durjana sama-sama kehilangan cinta sejati dan terantuk pada egoisme yang sama: yakni pemuasan pada diri sendiri. Betapa setelah drama perselingkuhan terjadi, Rama dan Shinta tidak lagi dapat menyatukan cinta di kasur yang berhias bunga-bunga kenanga, tetapi mereka mendapati sebuah hubungan konjugal yang hambar dan penuh kepalsuan, saat mana laku asmaragama telah kehilangan derajat marlupa secara bersama-sama.

Jika menilik kondisi kehidupan berbangsa dan bernegara kita dewasa ini, tampak terang benderang bahwa hubungan konjugal yang intim dan harmonis antara penguasa- rakyat dan antar rakyat sendiri tengah mengalami peluruhan secara masif. Penguasa tidak lagi mempedulikan nasib rakyat yang dahaga akan “perhatian” dan “kasih sayang”.

Penguasa malah melakukan perselingkuhan dengan para punggawa harta demi kekuasaan politik dan ekonomi melalui praktek jorok korupsi dan kolusi. Rakyat pun akhirnya terlempar di tengah gurun pasir yang membara dan kerontang. Demi bertahan hidup, rakyat saling berlomba mengejar “oase“ yang sebenarnya fatamorgana. Untuk membasuh dahaga, mereka saling berebut, berbuat gaduh, berselisih dan kadang berbunuh.

Di padang gersang itu, rakyat disuguhi penampilan aktor politik yang jorok. Babak demi babak adalah intrik dan tragedi yang sarat anarkisme verbal dan fisik. Meski terkadang, rakyat dipaksa membulirkan air mata dan mengulurkan belas kasih pada aktor utama yang mati-matian membangun sebuah citra palsu. Sebuah citra yang merabunkan akal dan budi.

Dramaturgi politik nasional adalah seni politik yang paling buruk untuk ditonton. Ia mengajarkan para penonton, tua dan muda, untuk saling menyikut dan mendendam. Ia hanya mengajarkan sisi
machivelian seni berpolitik, bukan sisi kebijaksanaan “Kota Utama”-nya Al-Farabi.

Dari adegan mahaburuk itu, penonton hanya berhak menjadikan kebejatan sebagai kepahlawanan. Tak heran, penonton pun lalu mengadopsi, mengimitasi, dan memodifikasi laku politik para elit dalam bentuk kekerasan yang paling gila; yakni kekerasan atas nama cinta. Kekerasan diblender dengan cinta supaya kekerasan menemukan justifikasi teologi, politik, dan sosial. Kekerasan demi kekerasan diagungkan
memproduksi situasi yang digambarkan Jean-Paul Sartre (1948) sebagai “kekerasan yang lumrah”, di mana sikap dan tindakan penuh cinta dan kasih sayang adalah sebuah keganjilan. Kekerasan pun lantas beralih menjadi semacam dogma yang dikukuhkan para agamawan.

Atas nama sebuah kesucian teologi, brutalisme menjadi banal lumrah. Ayat-ayat cinta dan
keintiman sengaja dikubur atau ditilap di bawah ketiak para punggawa agama. Yang tersisa adalah parade ajaran premanisme yang telah mengalami “penyucian”. Karena itu, kita semua menjadi imun, acuh tak acuh terhadap segala bentuk kekerasan atas nama titah agama. Situasi “hilangnya keintiman”
semakin mencekam, ketika penguasa menyerah dan atau malah melanggengkan keadaan ini guna pencapaian syahwat pribadi dan golongannya yang paling jorok: kekuasaan dan uang.

Kita semuanya tentu miris, jika situasi “hilangnya keintiman” itu berlangsung terus menerus. Ketika egoisme dalam wujudnya yang bejat selalu mengalahkan sedekah cinta dan kebaikan. Tetapi kita tidak perlu pesimis, sebab sikap menyerah kalah pada egoisme tidak lain adalah sebuah kepengecutan dan kepecundangan dalam menghadapi realitas. Republik Cinta Keintiman, solidaritas, dan cinta sesungguhnya melimpah ruah dalam diri dan tradisi kita. Itulah modal sosial yang
sering kita ingkari keberadaannya. Padahal, dalam guratan sejarah bangsa, nenek moyang kita mengajarkan cinta, welas asih, darma, gotong royong, toleransi dan keterbukaan.

Nenek moyang, sejatinya, mewariskan budaya ramah bukan amarah. Kealpaan kita sekarang yang mencibir nilai-nilai mahaadi itu selayaknya musti diganti dengan spirit menyalakan kembali obor cinta. Untuk itu, tidak ada alasan satupun untuk menunda penghormatan dan penyanjungan kita pada cinta: cinta adiluhung yang sudah terpatri dalam diri setiap individu. Cinta adiluhung atau etik, bagi Alain Badiou (2009), adalah sebuah sikap dan perasaan untuk menerima keragamaan pihak lain yang berbeda, bukan penyamarataan (identifikasi) yang dipaksakan.

Kita musti yakin bahwa cinta adiluhung ini dapat mengembalikan keintiman dan solidaritas, dalam merajut kembali jalinan kasih antar penguasa dan warga negara yang terkoyak. Cinta sangat esensial untuk mengobati duka-lara anak bangsa akibat pertikaian dan perselisihan. Cinta mengantarkan kita pada sikap saling menghargai, menghormati keragaman dan perbedaan.

Spirit cinta seperti ini diyakini dapat meluruhkan daki-daki egoisme yang berpusat pada pemujaan terhadap hasrat individu. Cinta menghidupkan kemanusiaan, sedangkan egoisme justru menghancurkan diri. Korupsi, kolusi dan nepotisme yang marak adalah wujud banal kekalahan cinta dari egoisme. Koruptor adalah makluk egois, yang peduli hanya pada dirinya. Koruptor adalah makluk terburuk di muka bumi, sebab ia hanya peduli pada nasib perut yang menggembung dan bawah perutnya yang rakus. Korupsi dengan demikian adalah antitesis terhadap cinta. Kekerasan verbal hingga terorisme juga bertabrakan dengan ajaran cinta. Teroris hanya mengejar orgasme teologis untuk diri dan kelompok.

Ia mengaduk-aduk ketakutan dan kematian orang lain, demi sebuah imajinasi cinta yang semu dan buram. Meski mulutnya menyanjung cinta, tetapi teroris itu sesungguhnya, seperti koruptor, adalah makhluk paling egois yang jorok dan menjijikkan. Kini, kita semua harus bertindak. Tidak sekadar berkeluh kesah, apalagi menyerah pada kondisi nircinta. Tibalah saat bagi kita untuk menghidupkan kembali cinta dan keintiman di dalam panggung Republik ini, supaya aktor dan penontonnya
sama-sama puas dan dapat menjumput pesan kebajikan untuk dituturkan dan dilestarikan. Karena tradisi cinta dan keintiman itu adalahhabitus kita yang paling orisinal, yang mengakar, dan mendarah daging dalam kehidupan.

Kita optimis, laku cinta dan keintiman antar warga di Republik ini akan tetap lestari. Cinta yang kita punya adalah modal politik, ekonomi, sosial dan budaya yang dapat kita arahkan pada pencapaian kemajuan dan kesejahteraan kolektif. Kita pun tidak perlu khawatir akan masa depan. Kita pun tak layak memendam ketakutan dari olok-olok dan cibiran anak cucu kita, sebab kita pernah berjasa membangun kembali “Republik Cinta”, bukan menjadikannya sebagai sebuah legenda.


==(Andar Nubowo Paris)==

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "TRAGEDI CINTA RAMA, SHINTA, RAHWANA DAN BANGSA INI"

Post a Comment

Note: only a member of this blog may post a comment.